-->
Motivasi Menulis

Senja Mengapung (cerpen)

Senja mulai datang menapak bumi saat aku masih bersandar pada bibir pantai tua ini. Malam telah merenggut mimpiku. Dan wanita itu telah menghancurkan harapan yang telah aku rajut dengan doa. Tak ada lagi yang bisa aku lakukan, aku hanya bisa mendengar siulan burung yang terus mengejek keruntuhanku.
Sesaat kudengar deru ombak berkata padaku, “ apa yang kau harapkan lagi ? lebih baik kau lepas hidupmu. Tidak akan ada lagi yang bersedia menemanimu”. Mendengar itu, aku hanya bisa terdiam dan mencermati setiap inci dari perkataannya. Namun sayup-sayup angin sore kudengar membalas perkataannya, “dia hanya akan pergi saat cinta dan kasih sayang sudah tidak mengalir lagi bersama aliran darahnya.”
Mendengar itu, aku terhenyak lagi. Ada benarnya apa yang dikatakan tadi. Hidupku belum berakhir, justru ini adalah awal dari semuanya. Aku masih punya sesuatu yang bisa aku banggakan, yaitu “cinta”. Mungkin wanita itu masih belum  mampu menafsirkan rasa yang kuberikan untuknya.       
Perlahan senja beranjak meninggalkanku bersama kalimat tasbih yang ia ucapkan sedari menemaniku disini. Tapi aku belum bergerak sedikitpun, aku masih betah memandangi ombak yang saling berkejaran.
Tak terasa malampun datang. Malam kali ini berbeda dengan biasanya. Dinginnya menusuk hingga ke setiap persendianku. Hingga tak dapat lagi kurasakan darahku mengalir. Tapi, bintang justu begitu ramai dengan setia menemani rembulan dan tentunya mereka juga menemaniku.
Sejenak aku menghentikan lamunanku, aku melihat sebuah bayangan datang menghampiriku. Dan tak lama kemudian, cahaya bulan menunjukkan kepadaku siapa sosok yang bersembunyi dibalik bayangan itu. Dia adalah wanita yang tadi sempat menghancurkan semangat hidupku.
Mau apa lagi gerangan wanita itu. Tak cukupkah tadi siang ia meremukkan hatiku, menanam rasa sakit di hatiku, hingga menggrogoti setiap jaringan sumsumku ?. Lama ia diam menatapku. Aku lihat didalam matanya terukir rasa penyesalan yang mendalam.
Aku menunggunya, menunggu ia berbicara. Aku tak akan berbicara sebelum ia melepaskan kata-kata yang terbelenggu dalam kerongkongannya. Sayup-sayup kudengar binatang malam yang meneriaki kami yang hanya bisa saling memandang.
Pelan-pelan mulut kecilnya mulai terbuka, dan sebuah suara akhirnya bisa lepas dari kerongkongannya, “demi malam yang bersembunyi dikala siang datang dan demi senja yang baru saja melambaikan tangannya tanda perpisahan, aku menyesali apa yang telah aku lakukan padamu. Dan atas nama waktu yang telah menjadi saksi keangkuhanku padamu, aku meminta maaf”.
Setelah apa yang telah ia lakukan padaku, semudah itukah dia mengatakan maaf ? aku pikir, rasa sakit ini belum mampu memaafkannya. Tapi, apa yang harus aku lakukan ? aku tak sampai hati jika tak memaafkannya.
“trus, apa yang kau inginkan dariku ?”. hanya kata itulah yang sementara ini dapat aku katakan. “aku hanya ingin kita mengulang semuanya dari awal, aku ingin bisa mencintaimu lagi. Izinkan aku untuk memperbaiki kesalahanku padamu”. Kembali  ia merayuku untuk kembali memulai rajutan cinta yang sudah terlanjur kusut ini.
Aku hanya mampu terdiam, tak sepatah katapun terucap dari bibirku. Semoga ada sesuatu yang bisa mengatasi kegundahan yang tengah aku rasakan ini. Tak lama kemudian suara angin seakan berbicara kepadaku, “kehilangannya bukan berarti kau kehilangan arti dari cinta, cinta yang sesungguhnya akan datang tanpa kau sadari. Bersabarlah, hingga akan ada waktu yang menawarkan cinta kepadamu.”
Mendengar itu semua, aku tahu apa yang harus aku lakukan. Sejenak aku berdiri dimukanya, aku pandangi matanya, terlihat penuh pengharapan agar aku mau bersamanya lagi. Tapi aku sudah punya pilihan sendiri, yang tentunya tak ia harapkan.
                Sebuah pilihan yang tentunya akan membuat ia menyesali segala kekejamannya terhadap hatiku. Sebuah keputusan ini akan menghukumnya atas semua luka yang ia goreskan dihatiku. Hingga tak ada obat yang mampu menyembuhkannya, walau telah kucari hingga negeri bambu.

Aku kembangkan senyumku agar ia tak gelisah lagi. Dan saat itulah langkah kakiku beranjak menjauh darinya. Aku memang tak mengatakan apa-apa padanya. Tapi, aku yakin dia telah mengerti maksud dari tindakanku ini, melalui suara rerumputan yang terus menyampaikan permintaan maafku padanya, yang telah menolak harapannya.
Aku yakin pada apa yang aku lakukan ini. Karena aku didukung oleh jutaan bintang yang terus bersinar menunutun langkah kakiku. Dan satu keyakinan yang membuat aku berani  melakukan ini. Aku yakin, bahwa dilain waktu akan ada cinta yang abadi menantiku dibalik senja yang mengapung.

TAMAT
by : Falah Bilayudha
Labels: goresanku, tips cinta remaja

Thanks for reading Senja Mengapung (cerpen). Please share...!

0 Komentar untuk "Senja Mengapung (cerpen)"

Back To Top