1.
PENDAHULUAN
2.1. LATAR BELAKANG
Dalam rangka
pengharmonisasian standar akuntansi, Indonesia perlu mengadopsi standar
akuntansi international untuk memudahkan perusahaan asing yang akan menjual
saham di negara ini atau sebaliknya. Namun demikian untuk mengadopsi standar
international itu bukan perkara mudah karena memerlukan pemahaman dan biaya
sosialisasi yang mahal. Indonesia sudah melakukannya namun sifatnya baru
harmonisasi dan selanjutnya akan dilakukan full adoption atas
standar internasional tersebut. Adopsi standar akuntansi international tersebut
terutama untuk perusahaan publik. Hal ini dikarenakan perusahaan publik
merupakan perusahaan yang melakukan transaksi bukan hanya nasional tetapi juga
secara internasional. Jika terjadi jual beli saham di Indonesia atau
sebaliknya, tidak akan lagi dipersoalkan perbedaan standar akuntansi yang
dipergunakan dalam penyusunan laporan.
Ada beberapa
pilihan untuk melakukan adopsi, menggunakan IAS apa adanya atau harmonisasi.
Harmonisasi adalah kita yang menentukan mana saja yang harus diadopsi sesuai
dengan kebutuhan. Bapepam telah memberikan sinyal kepada semua perusahaan go
public tentang kerugian apa yang akan kita hadapi bila kita tidak
melakukan harmonisasi. Dalam pernyataannya Bapepam menjelaskan bahwa kerugian
yang berkaitan dengan pasar modal yang masuk ke Indonesia, maupun perusahaan
Indonesia yang listing di bursa efek di negara lain. Perusahaan asing akan
kesulitan untuk menterjemahkan laporan keuangannya dulu sesuai standar nasional
kita, sebaliknya perusahaan Indonesia yang listing di negara lain juga cukup
kesulitan untuk membandingkan laporan keuangan sesuai standar di negara
tersebut. Hal ini akan menghambat perekonomian dunia, dan aliran modal akan
berkurang dan tidak mengglobal. Adanya harmonisasi ini dibutuhkan konvergensi
IFRS, hal ini akan menyebabkan implikasi PSAK terbaru terhadap pelaporan pajak
di Indonesia.
1.2. Perumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah yaitu “Bagaimana pengaruh
konvergensi standar pelaporan keuangan ke IFRS dan pengaruhnya terhadap
perpajakan?”
1.3.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, maka dapat ditentukan tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk mengetahui pengaruh konvergensi standar pelaporan keuangan ke IFRS
terhadap perpajakan.
1.4.
Manfaat Penulisan
Adapun manfaat
yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah sebagai
referensi bagi pembaca pada umumnya dan mahasiswa jurusan akuntansi Universitas
Negeri Semarang pada khususnya.
1.5. Ruang lingkup pembahasan
Agar penulisan
ini lebih terarah dan tidak menyimpang dari permasalahan yang ada maka penulis
membatasi ruang lingkup pembahasan hanya pada dampak konvergensi IFRS bagi
perpajakan di Indonesia.
2.
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.
Pengertian IFRS
Standar
Pelaporan Keuangan Internasional (International Financial Reporting
Standards atau IFRS) adalah standar dasar, pengertian dan kerangka
kerja yang diadaptasi oleh Badan Standar Akuntansi Internasional (International
Accounting Standards Board (IASB)). Sejumlah standar yang dibentuk
sebagai bagian dari IFRS dikenal dengan nama terdahulu Internasional
Accounting Standards(IAS). IAS dikeluarkan antara tahun 1973 dan 2001 oleh
Badan Komite Standar Akuntansi Internasional (Internasional Accounting
Standards Committee (IASC)). Pada tanggal 1 April 2001, IASB baru
mengambil alih tanggung jawab guna menyusun Standar Akuntansi Internasional
dari IASC.
3.2.
Pengertian Pajak
Menurut
undang-undang pajak nomor 28 tahun 2007 Pasal 1 ayat 1, Pajak adalah kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
3.
PEMBAHASAN
Konvergensi IFRS
tidak hanya berpengaruh terhadap dunia bisnis saja, tetapi juga dalam dunia
perpajakan. Perbedaan IFRS dengan perpajakan antara lain:
- Aset tetap (PSAK No. 16). Berdasarkan PSAK No. 16
(Revisi 2007) perusahaan diperbolehkan memilih metode biaya atau metode
revaluasi, sedangkan Peraturan Perpajakan, yaitu Peraturan Menteri
Keuangan No.79/PMK.03/2008, metode penyustan aset tetap menggunakan biaya
perolehan sesuai Pasal 10 ayat (1) UU PPh Menteri Keuangan. Masalah
kewajiban perpajakan yang timbul atas revaluasi aset tetap adalah sebagai
berikut:
- Nilai hasil revaluasi akan lebih tinggi dari nilai
perolehan awal.
Hal ini disebabkan penilaian aset tetap dilakukan berdasarkan nilai pasar/nilai wajar tersebut yang ditetapkan oleh jasa penilai/appraisal independen yang disahkan oleh Menkeu. Sehingga atas hasil revaluasi ini akan muncul selisih revaluasi aset tetap dari perolehan yang lama. - Hasil revaluasi dikenakan PPh bersifat final
sebesar 10% sesuai dengan ketentuan dimaksud pada pasal 5 PMK
79/PMK.03/2008 tentang penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk
tujuan perpajakan.
- Pada PSAK No. 13, properti yang digunakan pada
operating lease diklasifikasikan dan dicatat sebagai properti investasi,
hanya jika sesuai dengan definisi dari properti investasi dan lessee
menggunakan fair value model. Sedangkan pada perpajakan Tidak membedakan
properti investasi dari aktiva tetap, Pengalihan tanah dan/bangunan
dikenakan pajak penghasilan final.
- Aset Tak berwujud, contoh item yang
tidak diatur dalam peraturan pajak dan oleh karena itu menggunakan SAK
sebagai dasar adalah aset tak berwujud. Dalam peraturan perpajakan, aset
tak berwujud mengacu ke SAK (dalam hal batasan dan pengakuan) sesuai
dengan Pasal 28 UU KUP. Padahal, pengaturan aset takberwujud untuk SAK
ETAP dan SAK Umum berbeda. Untuk SAK Umum, aset tak berwujud dapat
dihasilkan secara internal (dari proses pengembangan/development)
maupun eksternal (membeli lisensi, hak cipta, dll). Untuk SAK ETAP, aset
takberwujud hanya yang dihasilkan secara eksternal saja. Perlakuan untuk
amortisasi aset takberwujud berdasar UU KUP adalah 20 tahun atau
mengikuti klasifikasi UU No.11 mengenai aset, sedangkan berdasar SAK Umum
dapat berumur terbatas atau takterbatas, dan berdasarkan SAK ETAP umurnya
terbatas.
- Fair Value Accounting, seringkali yang ditakutkan
dari dampak konvergensi IFRS terhadap peraturan perpajakan adalah
mengenai diterapkannya Fair Value Accounting (FVA).
Namun, patut dicermati bahwa penerapan FVA atau penggunaan model
revaluasi merupakan sebuah pilihan. Entitas boleh memilih akan
menggunakan model biaya (historical cost model) atau model
revaluasi (menggunakan FVA). Penggunaan FVA yang wajib hanya di kategori
instrumen fair value through profit or loss (FVTPL).
Selain itu, jika tidak ada marketnya, maka menggunakan valuation
technique.
Contoh lainnya yang menjadi perhatian bagi pihak otoritas
pajak, konvergensi IFRS yang berimplikasi dengan perpajakan adalah sebagai
berikut:
1. Pada
PSAK No. 1, pos pos dalam laporan laba rugi komprehensif, yaitu: beban
keuangan, keuntungan atau kerugian dari operasi yang dihentikan diakui secara
keseluruhan sedangkan pada perpajakan dilakukan koreksi fiskal atas perbedaan
antara akuntansi dan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
2. Pada
PSAK No. 7, pengungkapan pihak pihak yang memiliki hubungan istimewa adalah
pihak istimewa yang terkait dengan pihak dalam transaksi yang wajar, pengakuan
beban selama periode berjalan, klasifikasi pengungkapan atas pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa. Pada nama entitas induk, jika berbeda dengan
entitas anak dan pihak yang mengendalikan. Jika entitas induk maupun pihak
pengendali utama menghasilkan laporan keuangan yang tersedia untuk keperluan
umum, nama entitas induk berikutnya yang paling pertama melakukannya juga harus
diungkapkan. Dari sisi perpajakan semua pihak istimewa harus diungkapkan dengan
pengisian lampiran 3A atau 3B pada SPT PPh badan dan membuat TP Documentation
sesuai Per 43/PJ/2010.
3. Pada
PSAK No. 10, pengaruh perubahan nilai tukar valuta asing. Pada laporan keuangan
mata uang yang digunakan adalah mata uang fungsional digunakan sebagai mata
uang pengukuran dan penyajian bisa berlainan dengan mata uang fungsional.
Sedangkan pada perpajakan harus menggunakan Rupiah atau US Dollar.
5.
KESIMPULAN & SARAN
5.1. Kesimpulan
Terdapat perbedaan antara perpajakan dan IFRS,
diantaranya adalah dalam metode perhitungan aset tetap, adanya beberapa pos-pos
yang tidak diakui oleh pajak dalam laporan laba rugi komprehensif, pengungkapan
pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa, pengaruh perubahan nilai tukar
valuta asing, operating lease, dan lain sebagainya.
Selalu ada
perbedaan antara standar akuntansi dan peraturan perpajakan. Hal ini
dikarenakan tujuan dari akuntansi dan tujuan perpajakan berbeda. Selain itu,
prinsip-prinsip dari standar akuntansi dan peraturan perpajakan juga berbeda.
Namun walaupun perbedaan antara SAK dan Peraturan Perpajakan tidak akan pernah
bisa dihilangkan, sebaiknya regulator perpajakan tetap melakukan tindakan untuk
meminimalkan bentang perbedaan antara SAK yang ada saat ini (SAK Umum &
ETAP) dengan Peraturan Perpajakan
Konvergensi IFRS
tidak memberikan pengaruh terhadap pelaporan pajak, karena laporan
keuangan fiskal mengacu pada aturan pajak (Undang-Undang, Peraturan Menteri
Keuangan, Peraturan Direktorat Jenderal, dll) yang berbeda dengan PSAK/IFRS/US
GAAP dan sebagainya (kecuali yang tidak diatur dalam perpajakan)
5.2. SARAN
Dengan adanya
konvergensi IFRS, semua pihak terkait bisa menyesuaikan perkembangan standar
akuntansi dan peraturan perpajakan, yang masing-masing berjalan dengan arahnya
sendiri-sendiri.
6.
Daftar
Pustaka
-Hove, M. (1990). The Anglo-American
influence on international accounting standards: the case of the disclosure
standards of the International Accounting Standards Committee. Research in
Third World Accounting, Vol. 1, pp. 55-66.
-Hung, M., & Subramanyam, K.
(2007). Financial statement effects of adopting international accounting
standards: The case of Germany. Review of Accounting Studies,12(4): 623-657.
-Larson, R., & Kenny, S. (1996).
Accounting standard-setting strategies and theories of economic development:
implications for the adoption of international accounting standards. Advances
in International Accounting, Vol. 9, pp. 1-20.
-Leuz, C., & Oberholzer-Gee, F.
(2006). Political relationships, global financing, and corporate transparency:
evidence from Indonesia. Journal of Financial Economics, 81(2), pp. 411-39.
-Dwi Martani, 2011. Standar
Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntansi Publik (SAK-ETAP)
Ikatan Akuntan Indonesia, 2010.
Issue Perpajakan dalam Implementasi PSAK yang Konvergen dengan IFRS dan
Ketentuan Transisi PSAK. Kongres XI Ikatan Akuntan Indonesia, Jakarta.
-KMK No.1169/KMK.10/1991 tentang
Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing)
-PMK 43/PMK.03/2008 tentang
Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan,
Peleburan, dan Pemekaran Usaha
-PMK 96/PMK.03/1996 tentang
Jenis-Jenis Harta yang Termasuk dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan
untuk Keperluan Penyusutan
-Roy Iman Wirahardja, 2010. Dampak
Konvergensi IFRS terhadap Perpajakan. Kongres XI Ikatan Akuntan Indonesia,
Jakarta
-Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
-Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan
-Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
tentang Pajak Pertambahan Nilai
-Widjaja Tunggal, Amin, 2008.
Memahami Internasional Financial Reporting Standards (IFRS). Jakarta :
Harvarindo
Labels:
Tugas kuliah
Thanks for reading KONVERGENSI INTERNASIONAL FINANCIAL REPORTING STANDARDS (IFRS) DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERPAJAKAN. Please share...!
Terima kasih, Semakin tambah ilmu.
ReplyDelete